Jumat, 12 Juni 2015

Sejarah Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kontribusi kaum Muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Para sejarawan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. Sebagai contoh, sejarawan sekaligus ekonom terkemuka, Josep Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin tidak lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India dan Cina. Hal ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendekiawan Muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Peran para pemikir ekonomi islam pun berperan akan pertumbuhan ekonomi umat islam. Banyak para pemikir ekonomi islam yang menuangkan buah pikirannya untuk kemajuan perekonomian umat islam, di antaranya adalah Al-Mawardi. Lebih lanjut, pada makalah yang kami susun ini akan membahas tentang riwayat Hidup Al-mawardi  dan pemikiran ekonomi beliau.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bgaimana biografi singkat Al-Mawardi?
2.      Bgaimana pemikiran ekonomi Al-Mawardi?
3.      Apa saja karya-karya dari Al-Mawardi?

1.3  Tujuan Pembahasan
Maksud dari pembahasan makalah yang berjudul “Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi” adalah untuk memenuhi persyaratan tugas yang diberikan agar mendapatkan penilaian yang bagus dalam mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam di bidang softskill.
Tujuan dalam pemilihan judul makalahPemikiran Ekonomi Al-Mawardi” untuk menyesuaikan  dengan persyaratan tema makalah yang telah di tentukan dalam mata kuliah ini yakni tentang Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Dan untuk pembelajaran bagi para mahasiswa yang membutuhkan ilmu pengetahuan dari makalah ini. Serta tujuan dari pembahasan materi ini adalah untuk mengetahui serta mempelajari sejarah serta memahami konsep pemikiran ekonomi yang di gunakan pada masa itu.

1.4  Ruang Lingkup
Untuk mempermudah penulisan makalah ini dan agar lebih terarah dan berjalan dengan baik, maka perlu kiranya dibuat suatu batasan masalah. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini, yaitu hanya  membahas tentang:
1.      Biografi Al-Mawardi secara singkat.
2.      Sejarah  dari Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi.
3.      Karya-karya Al-Mawardi.
Dan pembahasan dalam makalah ini hanya brsifat teoritis denagn berlandaskan sumber-sumber tercantum yang ada.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Singkat Al-Mawardi
Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad bin Habib al-Bagdhadi, yang lebih dikenal dengan nama al-Mawardi. ia lahir di basrah pada tahun 364 H / 974 M. Beberapa waktu kemudian ia bersama orang tuan nya pindah ke baghdad dan disana ia dibesarkan. Al-mawardi adalah seorang pemikir Islam yang terkenal dalam mazhab Syafi’i.
            Al-Mawardi hidup dizaman daulah Abbasiyah, kehalifahan Abbasiyah yang gemilang telah memberikan suasana yang paling cocok bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan secara tepat dikenal sebagai zaman keemasan peradaban islam. Pada masa ini khalifah Harun al-Rasyid mendirikan Darul al-Hukuma sebagai laboratorium penerjemahan dan penelitian ilmu pengetahuan.
            Al-Mawardi dengan Ilmu yang dimilikinya, ia di kenal oleh banyak orang sebagai pemikir Islam, terutama dalam bidang Fiqh Siyasah. Al-mawardi terpandang sebagai tokoh terkemuka dan terkenal diantra mazhab Syafi’i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah, karirnya dimulai sebagai penasehat hukum dan kemudian menjadi hakim di berbagai daerah. Prestasinya melambung naik sehingga ia dipercaya menjadi hakim di Ustawa sebuah kota di Nisapur. Selanjutnya pada tahun 429 H, oleh Khlifak Qasim Billah ia diberi gelar dengan Aqdhatul Qudhat”. Setelah berpindah dari satu kota kekota lain sebagai hakim, artinya ia kembali dan menetap di Baghdad, dan mendapatkan kedudukan yang terhormat pada pemerintahan khalifah Qadir.
            Disam ping sebagai Hakim, al-Mawardi juga sebagai seorang guru, banyak ulama-ulama terkemuka sebagai hasil bimbingannya, antara lain adalah Abu al-Ainain Kadiri dan Abu Bakar al-Khatib. Kegiatan ilmiah yang dilakukan al-Mawardi selain mengajar adalah menulis, al-Mawardi adalah penulis yang produktif, ini terbukti dengan banyaknya karya beliau diantaranya adalah; Kitab Al-Hawi dalam bidang Fiqh, Kitab Dalain al-Nubuwwatdalam bidang Hadits, kitab Al-Ahkam al-Shulthaniyah (Hukum tata Negara atau Pemerintahan) dan masih banyak lagi karya-karya terkemuka lainya.
            Al-Mawardi dalam masa hidupnya merupakan seorang ulama dal politikus yang sangat berpengaruh dalam pemerintahan Abbasiyah dan masa-masa berikutnya sampai dewasa ini. Konsep al-mawardi tentang ketatanegaraan dijadikan sebagai rujukan dalam dunia Islam, hal itu diakui oleh Dunia Islam sendiri dan dunia Barat. Imam Al-Mawardi sebagai seorang tokoh dan Ulama Islam terkemuka wafat pada Hari selasa bulan Rabiul awal tahun 450 H dan dimakamkan di kota Baghdad dalam usia 86 Tahun.

2.2 Pemikiran Ekonomi
Pada dasarnya, pemikiran ekonomi al-Mawardi tersebut paling tidak pada tiga buah karya tulisannya, yaitu kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industry. Dalam kitab al-hawi, salah satu bagiannya, al-Mawardi secara khusus membahas tentang Mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam kitab al-Ahkam As-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang system pemerintahan dan administrasi agama islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbagai lembaga Negara, penerimaan dan pengeluarn Negara, serta Institusi Hibah.
Dalam kitabnya al-Ahkam As-Sulthaniyyah, al-Mawardi menempatkan pembahasan ekonomi dan keuangan Negara secara khusus pada bab 11,12, dan 13 yang masing-masing membahas tentang harta, sedekah, ghanimah, serta harta jizyah dan Kharaj.
Analisis komparatif atas kitab ini dengan karya-karya sebelumnya yang sejenis menunjukan bahwa al-Mawardi membahas masalah-masalah keuanagan dengan cara yang lebih sistematis dan rumit. Sumbangan utama al-Mawardi terletak pada pendapat mereka tentang pembenaan pajak tanbahan dan dibolehkannya peminjaman publik.
2.2.1 Negara dan Aktifitas Ekonomi
Teori keuangan publik selalu terkait dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Permasalahan inipun tidak luput dari perhatian Negara islam. Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukanya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.
Dalam perspektif ekonomi, pernytaan Al-Mawardi ini berarti bahwa Negara memiliki peran aktif demi trealisasinya tujuan material dan sepiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi bangsa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian seperti para pemikir muslim sebelumnya, al-Mawardi memandang bahwa dalam islam pemenuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan moral dan agama.
Selanjutnya al-mawardi berpendapat bahwa Negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Menurutnya,
jika hidup dikota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber air minum, atau rusaknya tembok kota, maka Negara harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan, jika tidak memiliki dana, Negara harus memnemukan jalan untuk memperolehnya”
Al-Mawardi menegaskan bahwa Negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan demikian, layanan public merupakan kewajiban social (fardh kifayah) dan harus bersandar kepada kepentingan umum. Pernyataan Al-Mawardi ini semakin mempertegas pendapat para pemikir muslim sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk mengadakan proyek dalam kerangka pemenuhan kepentingan umum, Negara dapat menggunakan dana Baitul Mal atau membebankan kepada individu-individu yang memiliki sumber keuangan yang memadai. Lebih jauh ia menyebutkan tugas-tugas Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga Negara sebagai berikut :    
a.       Melindungi agama
b.      Menegakkan hukum dan stabilitas
c.       Memelihara batas Negara islam
d.      Menyediakan iklim ekonomi yang kondusif
e.       Menyediakan administrasi public, peradilan, dan pelaksanaan hukum islam
f.       Mengumpulkn pendapat dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikannya dengan menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya
g.      Membelanjakan dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibanya.
Seperti yang telah disebutkan, Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara serta merealisasikan kesejahteraan dan perkembangan ekonomi secara umum. Sebagai konsekuensinya, Negara harus memiliki sumber-sumber keuangan yang dapat membiayai pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Al-Mawardi menyatakan bahwa kebutuhan Negara terhadap pendirian kantor lembaga keuangan negara secara permanen muncul pada saat terjadi transfer sejumlah dana Negara dari berbagai daerah lalu dikirimkan kepusat.
Seperti pada halnya para pemikir Muslim diabad klasik, al-Mawardi menyebutkan bahwa sumber-sumber pendapatan Negara islam terdiri dari Zakat, Ghanimah, Kharaj, Jizyah, dan Ushr. Terkait dengan pengumpulan harta zakat, al-Mawardi membedakan antara kekayaan yang tampak dengan kekayaan yang tidak tampak. Pengumpulan zakat atas kekayaan yang tampak, seperti hewan dan hasil pertanian, harus dilakukan langsung oleh Negara, sedangkan pengumpulan zakat atas kekayaan yang tidak tampak, seperti perhiasan dan barang dagangan, diserahkan kepada kebijakan kaum muslimin.
Lebih jauh al-Mawardi berpendapat bahwa dalam hal sumber-sumber pendapatan Negara tersebut apabila tidak mampu memenuhi kebutuhann anggaran Negara atau terjadi defisit anggaran, Negara memperbolehkan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman kepada public. Secara historis, hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Untuk membiayai kepentingan perang dan kebutuhan social lainnya dimasa awal pemerintahan Madinah.
Menurut al-Mawardi, pinjaman public harus dikaitkan dengan kepentingan public. Nemun demikian, tidak semua kepentingan public dapat dibiayai dari dana pembiayaan public. Ia berpendapat bahwa ada dua jenis biaya untuk kepentingan public, yaitu biaya untuk pelaksnaan fungsi-fungsi mandatory Negara dan biaya untuk kepentingan umum dana kesejahteraan masyarakat. Dana pinjaman public hanya dapat dilakukan untuk pembiayaan berbagai barang atau jasa yang disewa oleh Negara dalam kerangka mandatory functions. Sebagai gambaran, al-Mawadi menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban Negara yang timbul dari pembayaran berbasis sewa, seperti gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata. Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah keuangan Negara mencukupi atau tidak. Apabila dana yang ada tidak mencukupi, Negara dapat melakukan pinjaman kepada public untuk memenuhi jenis kewajiban tersebut.
Dengan demikian, menurut al-Mawardi pinjaman public hanya memperbolehkan untuk membiayai kewajiban Negara yang bersifat mandatory functions. Adapun terhadap jenis kewajiban yang bersifat lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, Negara dapat memberikan pembiayaan yang berasal dari dana-dana lain, seperti pajak.
Pernyataan al-Mawardi tersebut juga mengindikasikan bahwa pinjaman publik dilakukan jika didukung oleh kondisi ekonomi yang ada dan yang akan datang serta tidak bertujuan konsumtif. Kebijakan pinjaman publik merupakan  solusi terahir yang dilakukan oleh Negara dalam menghadapi defisit anggaran.
2.2.2 Perpajakan
Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian al-Mawardi. Menurutnya, penilaian atas Kharaj  harus berfariasi sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sisitem irigasi.
Lebih jauh, ia menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai faktor-faktor penilaian Kharaj. Kesuburan tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam melakukan penilaian Kharaj karena sedikit-banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis tanaman juga berpengaruh terhadap penilaian kharaj karena berbagai jenis tanaman mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitupula halnya dengan sistem irigasi.
Disamping ketiga faktor tersebut, al-Mawardi  juga mengungkapkan faktor yang lain, yitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Faktor terahir ini juga sangat relevan karena tinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak tanah dari pasar. Dengan demikian, dalam pandangan al-Mawardi keadilan baru akan terwujud terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat factor dalam melakukan penilaian suatu objek Kharaj, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, system irigaasi dan jarak tanah ke pasar”.
Tentang metode penetapan Kharaj, al-Mawardi menyarankan untuk mengguanakan salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah islam, yaitu:
a.       Metode Misahah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah. Metode ini merupakan Fixed-Tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut bisa ditanami.
b.      Metode penetapan Kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam penilaian objek Kharaj.
c.       Metode Musaqah yaitu metode penetapan Kharaj berdasarkan presentase dari hasil produksi (proportional tax). Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.
Secara kronologis, metode pertama yang digunakan umat islam dalam penerapan kharaj adalah metode Misahah. Metode ini diterapkan pertama kali pada masa khalifah Umar ibn Khatab berdasarkan masukan dari para sahabat yang melakukan survey. Pada masa ini, pajak ditetapkan tahunan pada tingkat yang berbeda secara Fixed  atas setiap tanah yang berpotensi produktif dan memiliki akses keair, sekalipun tidak ditanami sehingga pendapatan yang diterima oleh Negara dari jenis pajak ini pun bersifat fixed. Melalui penggunaan metode ini, Khalfah Umar ingin menjamin pendapatan Negara pada setiap tahunnya demi kepentingan ekspansi, sekaligus memastikan para petani tidak mengelak membayar pajak dengan dalih hasil produksi rendah.
Metode yang kedua juga pernah diterapkan pada masa Umar. Pengenaan pajak dengan menggunakan metode ini dilakukan pada bebarapa wilayah tertentu saja, terutama di Syiria. Metode yang terahir, Muqasamah, pertama kali diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah, Khususnya pada masa dinasti Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid.
            2.2.3 Baitul Mal
Seperti yang telah dikemukakan, al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja Negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, Negara membutuhkan lembaga keuangan Negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan Negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.
Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Mal, al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah dapat meminjam uang belanja tersebut dari pos yang lain. Ia juga menyatakan bahwa pendapatan dari setiap Baitul Mal provinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan publiknya masing-masing. Jika terdapat surplus, guberbur mengirimkan sisa dana tersebut kepada pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat atau provinsi yang memperoleh pendapatan surplus harus mengalihkan sebaggian harta Baitul Mal kepada daerah-daerah yang mengalami defisit. Kemudian dilihat dari tanggung jawab Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan publik. Ia mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul Mal kedalam dua hal, yaitu :
a.       Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.
b.      Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaan baitul Mal itu sendiri.
Berdasarkan ketegori yang dibuat al-Mawardi tersebut, kategori pertama dari tanggung jawab Baitul Mal yang terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari sedekah. Kerena pendapatan sedekah yang diperuntukan bagi klompok masyarakat telah ditertentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum, Negara hannya diberi kewenangan untuk mengatur pendaptan itu sesuai apa yang telah digariskan oleh ajaran islam. Dengan demikian kategori tanggung jawab yang pertama merupakan pembelanjaan yang bersifat tetap dan minimum.
Kemudian kategori tanggung jawab yang kedua yakni terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari Fai. Menurut al-Mawardi, seluruh jenis kekayaan yang menjadi milik kaum muslimin secara umum dan bukan milik perseorangan secara khusus merupakan bagian dari harta Baitul Mal. Oleh karena itu, pendapatan fai  yang diperuntukan bagi seluruh kaum muslimin tersebut merupakan bagian dari harta Baitul Mal.
Lebih jauh, al-Mawardi mengklasifikasikan kategori yang kedua ini kedalam dua hal.
Pertama, tanggung jawab yang timbul sebagai pengganti atas nilai yang diterima (badal), seperti untuk pembayaran gaji para tentara dan pembiayaan pengadaan senjata. Pelaksanaan tanggung jawab ini menghasilkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, berapapun besarnya.
Kedua, tanggung jawab yang muncul melalui bantuan dan kepentingan umum. Al-Mawardi menyatakan bahwa pelaksanaan jenis tanggung jawab ini berkaitan dengan keberadaan dana Baitul Mal. Jika terdapat dana yang cukup dari Baitul Mal, maka pelaksanaan tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab sosial (fardh kifayah) seluruh kaum muslimin.
Disamping menetapkan tanggung jawab Negara, uraian al-Mawardi tersebut juga menunjukan bahwa dasar pembelanjaan publik dalam Negara islam adalam Maslahah (kepentingan umum). Hal ini berarti bahwa Negara hanya mempunyai wewenang untuk membelanjakan harta Baitul Mal selama berorientasi pada pemeliharaan maslahah dan kemajuannya.
Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat, al-Mawardi menyatakan bahwa kewajiban Negara untuk mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang fakir dan miskin hanya pada taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada batasan jumlah tertentu untuk membantu mereka karena ‘pemenuhan kebutuhan’ merupakan istilah yang relativ. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebingga terbebas dari 1 Dinar, sementara yang lain mungkin membutuhkan 100 dinar.
Disamping itu al-Mawardi berpendapat bahwa zakat harus didistribusikan diwilayah tempat zakat itu diambil. Pengalihan zakat kewilayah lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golongan mustahik zakat diwilayah tersebut telah diterimanya secara memadai. Kalau terdapat surplus, maka mereka yang paling berhak menerimannya adalah yang terdekat wilayah tempat zakat tersebut diambil.
Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian harta Baitul Mal agar berjalan lancar dan tepat sasaran, Negara harus memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkin. Dalam hal ini salah satu fungsi Muhtasib adalah memperhaikan kebutuhan public serta merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteran bagi masyarakat umum. Al-mawardi menegaskan, jika mekanisme pengadaan air minum kekota mengalami kerusakan, atau dinding sekitarnya bocor, atau kota tersebut banyak dilintasi oleh para musafir yang sangat membutuhkan air, maka Muhtasib (petugas hisab) harus memperbaiki system air minum, merekonstruksi dinding dan memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang miskin, karena hal ini adalahh kewajiban baitul Mal bukann kewajiban Masyarakat.
Disamping menguraikan teori tentang pembelanjaan public,, al-Mawardi ternyata memahami dampak ekonomi pengalihan pendapatan melalui kebijakan public. Ia menyatakan: “ Setiap penurunan dalam kekayaan public adalah peningkatan kekayaan Negara dan setiap penurunan dalam kekayaan Negara adalah peningkatan dalam kekayaan public.”
Dengan demikian, menurut al-Mawardi pembelanjaan public, seperti halnya perpajakan, merupakan alat efektif untuk mengalihkan sumber-sumber ekonomi. Pernyataan al-Mawradi tersebut juga mengisyaratkan bahwa pembelanjaan public akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan.
2.3 Karya-karya Al-Mawardi
Ø  Al Mawardi Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Basri asy-Syafi’i lahir di kota Basrah pada tahun 364 H (974 M).
Ø  Pemikiran ekonomi al-Mawardi ada pada tiga buah karya tulisnya, yaitu Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah.
Ø  Al Mawardi memaparkan perilaku ekonomi muslim serta jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan, dan industri.
Ø  Dalam Kitab al-Hawi, di salah satu bagiannya, al-Mawardi secara khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab.
Ø  Dalam Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al Mawardi banyak menguraikan tentang sistem pemerintahan dan administrasi negara Islam.
Ø  Dalam Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al Mawardi menguraikan lembaga negara, penerimaan dan pengeluaran negara, serta institusi hisbah


BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Ø  Menurut Al-Mawardi, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat adalah kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, moral dan agama.
Ø  Menurut Al-Mawardi, negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum.
Ø  Menurut Al-Mawardi, penilaian atas kharaj harus bervariasi sesuai faktor kemampuan tanah: kesuburan, jenis tanaman dan sistem irigasi.
Ø  Menurut Al-Mawardi, alternatif metode penetapan kharaj adalah berdasarkan: misahah, atau ukuran tanah yang ditanami saja, atau musaqah.
Ø  Metode Misahah: penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah. Metode ini merupakan fixed-tax, selama tanah tersebut memang bisa ditanami.
Ø  Pada penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja, tanah subur yang tidak dikelola tidak termasuk penilaian obyek kharaj.
Ø  Metode Musaqah: metode penetapan kharaj berdasarkan persentase dari hasil produksi (proportional tax) yang dipungut setelah panen.
Ø  Menurut Al-Mawardi, untuk membiayai kepentingan publik, Negara membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Mal) yang didirikan permanen.
Ø  Menurut Al-Mawardi, melalui Baitul Mal, pendapatan negara akan disimpan dalam pos terpisah dan dibelanjakan sesuai alokasi masing-masing.
Ø  Menurut Al-Mawardi, harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.
DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adiwarman Azwar, 2012. Sejaran Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Faza Zee Delhawa. 2013. Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi. http://fazaandromeda.blogspot.com/2013/07/pemikiran-ekonomi-al-mawardi.html. Tanggal akses Minggu 14 Desember, 2014.
Imam Ahmad Baihaqi. 2012. Konsep EKonomi Menurut Al-Mawardi. http://imamahmadbaihaqi.blogspot.com/2012/02/konsep-ekonomi-menurut-al-mawardi.html. Tanggal akses Sabtu 29 November, 2014.

Kamis, 21 Mei 2015

Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi




PERTUMBUHAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

DALAM PERSPEKTIF EKONOMI KONVENSIONAL
DENGAN EKONOMI ISLAM 
 
 




A.        PENDAHULUAN
          Berdasarkan dari segi taraf hidup masyarakat, negara di dunia dibedakan menjadi dua, yaitu Negara Maju dan Negara berkembang. Corak dan pola di kedua golongan negara tersebut tentu berbeda dan memerlukan pendekatan yang berbeda dalam menganalisa persoalan yang dihadapi dan kebijakan yang diperlukan untuk mengatasinya. Sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia, walaupun telah hampir enam dekade, isu-isu mengenai pembangunannya tidak banyak mengalami perubahan. Ada dua hal yang sering menjadi tolok ukur terhadap keberhasilan suatu negara, yakni pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi. 
            Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional.
            Simon Kuznet mendefinisikan pertumbuhan ekonomi negara ialah sebagai kemampuan negara itu untuk menyediakan barang-barang ekonomi yang terus meningkat bagi penduduknya. Pertumbuhan kemampuan ini didasarkan pada kemajuan teknologi dan kelembagaan serta penyesuaian ideologi yang dibutuhkannya. Perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila jumlah balas jasa riil terhadap penggunaan faktor-faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar dari tahun sebelumnya.
            Sementara itu pembangunan ekonomi diartikan sebagai serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan tekhnologi semakin meningkat. Implikasi dari perkembangan ini ialah diharapkan kesempatan kerja bertambah, tingkat pendapatan meningkat, dan kemakmuran masyarakat menjadi semakin tinggi.  
            Ilmu Ekonomi pembangunan saat ini mengalami krisis dan re-evaluasi. Banyak ekonom dan perencana pembangunan yang skeptis tentang pendekatan utuh ilmu ekonomi pembangunan kontemporer. Menurut Kursyid Ahmad, sebagian mereka berpendapat bahwa teori yang didapat dari pengalaman pembangunan barat kemudian diterapkan di negara-negara berkembang, jelas tidak sesuai dan merusak masa depan pembangunan itu sendiri. Dari paparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu ekonomi pembangunan barat sama sekali tidak relevan dan tidak memenuhi syarat untuk diterapkan di negara-negara Islam. Karena itu prinsip-prinsip teori ini harus ditinjau kembali, dan harus dilakukan untuk mengobati penyakit-penyakit yang sudah ditularkan kepada negara-negara Islam.
            Pada akhirnya, kita memerlukan suatu konsep pembangunan ekonomi yang tidak hanya mampu merealisasikan sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam suatu pembangunan ekonomi secara tepat, teruji dan bisa diterapkan oleh semua negara-negara di belahan bumi ini, tetapi juga yang terpenting adalah kemampuan konsep tersebut meminimalisasir atau bahkan menghilangkan segala negative effect pembangunan yang dilakukan. Konsep tersebut juga harus mampu memperhatikan sisi kemanusiaan tanpa melupakan aspek moral.




PEMBAHASAN

A. Perbedaan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pembangunan Ekonomi
            Seperti yang telah dijelaskan di Bab Pendahuluan, pertumbuhan Ekonomi dengan Pembangunan Ekonomi memiliki perbedaan. Secara tradisional pertumbuhan memiliki peningkatan terus-menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pertumbuhan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto suatu provinsi, kabupaten atau kota.
            Menurut beberapa ahli definisi pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut :
1.      Menurut pandangan para ekonom klasik dan para ekonom neoklasik
         Pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu, a) jumlah penduduk, b) Jumlah stok barang modal, c) Luas tanah dan kekayaan alam, d) Tingkat teknologi yang digunakan.
      Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. (Mudrajad    Kuncoro, “Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan  Peluang “, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2004.)
2.        Prof. Simon Kuznet, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologinya dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukan. (M.L Jinghan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, edisi 3, Rajawali Press, Jakarta)
3.        M.P. Todaro mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses yang mantap dimana kapasitas produksi dari suatu perekonomian meningkat sepanjang waktu untuk menghasilkan tingkat pendapatan nasional yang semakin besar. (M.P. Todaro, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi 4, Penerbit Erlangga, Jakarta)
4.  Sadono Sukirno berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang berlaku dari tahun ke tahun. Sehingga untuk mengetahuinya dilakukan perbandingan pendapatan nasional dari tahun ke tahun. (Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Penerbit FEUI, 1985)
           
            Terdapat tiga komponen pokok dalam definisi Pertumbuhan Ekonomi, yaitu :
1.  Kenaikan output secara berkesinambungan adalah manifestasi dari pertumbuhan ekonomi sedangkan kemampuan menyediakan berbagai jenis barang merupakan tanda kematangan ekonomi (economic maturity) pada negara bersangkutan
2.   Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkesinambungan dimana pemerintah berperan dalam investasi bidang pendidikan.
3.  Mewujudkan potensi pertumbuhan yang terkandung dalam kemajuan teknologi dilakukan penyesuaian kelembagaan, sikap dan ideologi. Sehingga secara sosial dan ekonomi terjadi pertumbuhan yang sering.
           
     Menurut Todarro, pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses multidimensional. Pembangunan ekonomi melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa, dan lembaga-lembaga nasional. Termasuk juga percepatan pertumbuhan ekonomi serta pengurangan dan pemberantasan kemiskinan absolut.
       Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi merupakan dua hal yang sangat erat kaitannya dan saling mempengaruhi. Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, sebaliknya pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
         Menurut Simon Kuznets, berdasarkan pengamatannya di negara-negara maju, ia menyimpulkan bahwa setiap proses pembangunan ekonomi terdapat tiga tanda, yaitu :
1.      Produksi terus-menerus mengalami peningkatan
2.      Teknologi yang terus berkembang
3.      Agar perkembangan ekonomi itu menjadi unsur yang tidak lepas dari pertumbuhan teknologi, dibutuhkan penyesuaian kelembagaan ideologi dan sikap hidup
           
    Prof.Dr.Sumitro Djojohadikusumo menyatakan pembangunan ekonomi adalah usaha memperbesar pendapatan per kapita dan menaikkan produktivitas per kapita dengan cara menambah modal dan keahlian. Pembangunan ekonomi mengandung arti perubahan struktural, sebab, bermaksud untuk memperluas dasar ekonomi dan lapangan kehidupan.
   Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan dalam pendapatan total dan pendapatan per kapita dengan menghitung adanya pertambahan penduduk disertai adanya perubahan fundamental dalam struktur ekonomi.
     Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian, seperti dalam lembaga, pengetahuan dan teknik.
            Dari pengertian tersebut, terkandung empat unsur penting pembangunan ekonomi :
1.      Pembangunan ekonomi mengandung suatu proses perubahan yang terus-menerus
2.      Pembangunan ekonomi mengakibatkan perubahan sosial
3.      Pembangunan ekonomi berupaya meningkatkan GNP per kapita
4.      Pembangunan ekonomi berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
           
            Sementara itu pertumbuhan ekonmi lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi
            Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi terbagi menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi.
a)      Faktor Ekonomi
            Faktor ekonomi mencakup sumber-sumber ekonomi dalam arti luas.
1)      Sumber Daya Alam
            Sebagian besar negara berkembang bertumpu kepada sumber daya alam dalam melaksanakan proses pembangunannya. Namun demikian, sumber daya alam saja tidak menjamin keberhasilan proses pembanguan ekonomi, apabila tidak didukung oleh kemampuan sumber daya manusianya dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia. Sumber daya alam yang dimaksud dinataranya kesuburan tanah, kekayaan mineral, tambang, kekayaan hasil hutan dan kekayaan laut.
2)      Sumber Daya Manusia
            SDM sangat menentukan keberhasilan pembangunan. cepat lambatnya proses pembangunan tergantung kepada sejauh mana sumber daya manusianya selaku subjek pembangunan memiliki kompetensi yang memadai untuk melaksanakan proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi dan kualitas penduduk tinggi memungkinkan tingginya produktivitas.
3)      Sumber Daya Modal
            Dengan memiliki modal, sumber-sumber ekonomi yang potensial dapat diubah menjadi sumber daya ekonomi riil. Pembentukan modal dan investasi ditujukkan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal yang berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi, karena selain memperlancar proses pembangunan tetapi juga dapat meningkatkan produktivitas.
4)      Faktor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
            Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat mendorong adanya percepatan proses pembangunan, pergantian pola kerja yang semula menggunakan tangan manusia digantikan oleh mesin-mesin canggih berdampak kepada aspek efisiensi, kualitas dan kuantitas serangkaian aktivitas pembangunan ekonomi yang dilakukan dan pada akhirnya berakibat pada percepatan laju    pertumbuhan perekonomian.
5)      Faktor Budaya
            Faktor budaya memberikan dampak tersendiri terhadap pembangunan ekonomi yang dilakukan, faktor ini dapat berfungsi sebagai pembangkit atau pendorong proses pembangunan tetapi dapat juga menjadi penghambat pembangunan. Budaya yang dapat mendorong pembangunan diantaranya sikap kerja keras dan kerja cerdas, jujur, ulet dan sebagainya. Adapun budaya yang dapat menghambat proses pembangunan diantaranya sikap anarkis, egois, boros, KKN, dan sebagainya.
      b)   Faktor Nonekonomi
            Faktor-faktor nonekonomi antara lain lembaga-lembaga sosial, keadaan politik dan institusional. Ketidakstabilan poltik akan menghambat kemajuan ekonomi. Struktur politik dan administrasi yang lemah juga merupakan faktor penghambat pembangunan ekonomi. Sebaliknya, administrasi yang kuat, efisien dan tidak korup   merupakan faktor yang penting bagi pembangunan ekonomi.

C. Pertumbuhan dan Pembangunan dalam Perspektif Syariah
            Dalam ekonomi sekuler, pembangunan ekonomi mengacu pada suatu proses dimana rakyat suatu negara atau daerah memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan kenaikan produksi barang dan jasa perkapita secara terus menerus. Menurut W.A. Lewis Pertumbuhan terjadi jika output meningkat perjam kerjanya. Jadi pembangunan ekonomi dinyatakan sebagai kenaikan pendapatan perkapita bangsa dalam suatu masa tertentu. Pertumbuhan ekonomi mengukur kapasitas ekonomi dalam menaikkan suplai barang dan jasa tanpa perubahan biaya keuangan dan biaya sebenarnya. Olehnya itu ekonomi sekuler menentukan kemajuan ekonomi dengan tiga ukuran, yaitu :
Pertama, Pendapatan per kapitanya harus agak tinggi
Kedua, Pendapatan perkapitanya senantiasa naik
Ketiga, Kecenderungan kenaikan pendapatan perkapita harus terus menerus dan mandiri.
            Konsep Islam tentang pembangunan ekonomi lebih luas dari konsep ekonomi sekuler dengan cakupan dimensi yang multidimensional meliputi aspek material dan spiritual yang dikenal dengan “Tazkiyah Nafs” (penyucian jiwa) sebagaimana firman Allah SWT QS. Asy-Syams, 91: 7-10. “Demi jiwa beserta penyempurnaannya(7). Maka Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya kedurhakaan dan ketakwaannya(8). Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan dirinya(9). Sungguh merugi orang yang mengotorinya(10).”
            Kemudian pola ideal keyakinan Islam berupa motivasi yang mendorong seseorang untuk bekerja dan mempengaruhi pola-pola aktual perilaku Islam, dalam memanfaatkan sumber-sumber daya daya dari Allah secara efisien (QS. Al-Jumu’ah, 62:10). Rasulullah bersabda, “Bahwa tidak ada yang lebih baik dari pada makanan yang dihasilkan oleh tangan sendiri.” (HR. Bukhari)
           
D. Syarat Pertumbuhan dan Islam sebagai Faktor Pembangunan
            Prasyarat pertumbuhan ekonomi yang paling penting dalam pembangunan ekonomi adalah, pertama sumber daya alam dan kedua perilaku manusia. Menurut Prof. Lewis, pertumbuhan output perkapita disatu pihak tergantung pada sumber daya alam yang tersedia dan pihak lain pada perilaku manusia. Hal ini dapat dilihat pada negara-negara dengan sumber daya alam yang sama menunjukkan kemampuan perkembangan yang tidak sama, hal ini merupakan tantangan yang dapat diterima atau ditolak oleh pemikiran manusia. Seperti negara Australia, swiss, Belanda, Liberia, Argentina. Sebagai negara mereka memiliki lahan 1 ha berbanding 0,1 ha per kapita menjadi negara yang cukup maju baik pertanian maupun industrinya. Sebaliknya, Negara-negara Timur Tengah mempunyai sumber minyak yang menakjubkan, tetapi masih merupakan tergolong negara yang belum maju. Kemudian di Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar, sumber daya alam yang melimpah, dan sebagai negara agraris, sejatinya Indonesia dapat menjadi negara maju. Namun, hingga saat ini Indonesia masih tetap menjadi negara berkembang dengan problem-problem nya yang hingga saat ini masih sulit diatasi. Dari analisis ini telah terbukti bahwa perilaku manusia merupakan pencerminan keinginan untuk pertumbuhan, memainkan peranan yang sangat penting dalam menentukan pembangunan ekonomi.
            Pembentukan perilaku manusia merupakan suatu tantangan yang berat termasuk dinegara-negara berkembang. Permasalahan ekonomi, sosial dan politik juga tidak bisa dipisahkan dari masalah pembentukan karakter manusia. Sekarang ini negara-negara Islam dalam posisi yang lebih baik untuk melakukan usaha pembangunan ekonomi yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena dua hal :
1)      Banyaknya sumber daya alam yang telah ditemukan yang sebelumnya belum termanfaatkan
2)      Nilai-nilai Islam dapat digunakan untuk menyesuaikan sosio-ekonomi dan sosio-politik dalam membentuk perilaku manusia. 
            Olehnya dalam Islam itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam menyiapkan perilaku manusia sebagai agen pembangunan. Pertama membentuk karakter manusia yang seimbang, seimbang antara materi dan spiritual, pribadi dengan sosial, jasmani dan rohani, intelektual dan emosional. Kedua, membentuk pribadi yang memiliki produktivitas dengan keseimbangan antara prestasi dan reward. Ketiga, pemanfaatan sumber daya secara optimal dengan tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam. Sebagaimana firman Allah SWT Q.S. Hud 11: 61. “...Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya...”
            Dalam rangka menunjang kesuksesan misi manusia tersebut, Allah memberikan petunjuk kepada manusia lewat utusan-utusan-Nya dari waktu ke waktu samapi dengan utusan yang terakhir Rasulullah Muhammad SAW , dengan membawa agama Islam yang sempurna. Predikat sempurna bagi agama Islam bukan merupakan klaim dari pemeluk agama itu sendiri melainkan dengan terang dan gamblang diproklamirkan oleh Tuhan sendiri melalui wahyu yang terakhir yaitu Q.S. Al-Maidah 5:3. “...pada hari ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-Cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...”
            Selain itu upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mendorong pertumbuhan dan pengembangan pembangunan ekonomi antara lain:
1.      Pembangunan sumber daya insani merupakan tujuan pertama dari kebijakan pembangunan. Dengan demikian, harus diupayakan membangkitkan sikap dan apresiasi yang benar, pengembangan watak dan kepribadian, pendidikan dan latihan yang menghasilkan keterampilan, pengembangann ilmu dan riset serta peningkatan  partisipasi.
2.      Perluasan produksi yang bermanfaat. Tujuan utamanya adalah meningkatkan jumlah produksi nasional di satu sisi dan tercapainya pola produksi yang tepat. Produksi yang dimaksud bukan hanya sesuatu yang dapat dibeli orang kaya saja, namun juga bermanfaat bagi kepentingan ummat manusia secara keseluruhan. Produksi barang-barang yang dilarang oleh Islam tidak akan diperkenankan, sedangkan yang bermanfaat untuk ummat akan ditingkatkan. Dalam kebijakan demikian, pola investasi dan produksi disesuaikan dengan prioritas Islam dan kebutuhan ummat. Dalam hal ini ada tiga hal yang diprioritaskan Pertama, Produksi dan tersedianya bahan makanan dan kebutuhan pokok dalam jumlah yang melimpah, termasuk bahan-bahan konstruksi untuk perumahan, jalan dan kebutuhan dasar lainnya dengan harga yang cukup murah. Kedua, Perlunya pertahanan dunia Islam di negara-negara Islam, maka dibutuhkan peralatan persenjataan yang memadai. Ketiga, Swasembada di bidang produksi kebutuhan primer.
3.      Perbaikan kualitas hidup dengan memberikan prioritas pada tiga hal :
·          terciptanya lapangan kerja dengan segala penataan struktural, teknologi, investasi, dan pendidikan.
·          sistem keamanan nasional yang luas dan efektif yang menjamin kebutuhan dasar masyarakat. Dalam hal ini zakat harus dijadikan sebagi instrumen utama.
·          Pembagian kekayaan dan pendapatan dan merata. Harus ada kebijakan pendapatan yang mampu mengontrol tingkat pendapatan yang terendah (UMR), mengurangi konsentrasi ketimpangan dalam masyarakat. Salah satu indikator tampilan pembangunan adalah berkurangnya tingkat perbedaan pendapatan masyarakat. Karena itu sistem perpajakan harus diatur sebaik-baiknya.
4.      Pembangunan yang berimbang, yakni harmonisasi antar daerah yang berbeda dalam satu negara dan antar sektor ekonomi. Desentralisasi ekonomi dan pembangunan semesta yang tepat, bukan saja merupakan tuntutan keadilan tetapi juga diperlukan untuk kemajuan yang maksimum. Salah satu tujuan pembangunan adalah melalui desentralisasi, maka pemerintah daerah perlu diberikan keleluasaan untuk mengembangkan daerahnya sendiri dengan meningkatkan peran serta masyarakat. Dengan terus melakukan check and balances serta bimbingan dan pengawasan yang kuat, akan membentuk daerah itu menjadi agen pembangunan yang serba guna. Tujuan perencanaan pembangunan yang komprehensif akan sulit dicapai bilamana kita tidak mampu mengembangkan desentralisasi kekuasaan dan pengawasan yang lebih efisien serta mengurangi birokratisasi masyarakat. Dalam konteks ini, maka perusahaan-perusahaan swasta kecil dan menengah harus digalakkan dan dikembangkan. Para penguasa daerah harus menciptakan iklim lingkungan yang tepat dan kondusif yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan tersebut. Perusahaan juga harus didorong agar dapat meningkatkan investasi yang lebih besar lagi. Mereka juga diarahkan agar menjadi organisasi bisnis yang maju. Mereka itulah yang menjadi instrumen pembangunan ekonomi yang sarat nilai serta membagi rata tingkat pendapatan kepada seluruh masayarakat.
5.      Teknologi baru, yaitu berkembangnya teknologi tepat guna yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan, aspirasi negara-negara, khususnya negara-negara muslim. Proses pembangunan yang mandiri hanya dapat terwujud jika negara tersebut sudah bebas dari ”bantuan” asing serta mampu menguasai teknologi yang berkembang dalam lingkungan sosial dan alam yang bebeda, teknologi itu selanjutnya akan diadaptasikan dengan kreatifitas sendiri. Karena itu, perlu ada riset yang intensif dan luas.
6.      Berkurangnya ketergantungan pada dunia luar dan dengan semakin menyatunya kerjasama yang solid sesama negara-negara Muslim. Adalah tugas ummat sebagai khalifah, bahwa ketergantungan pada dunia non-Islam dalam semua segi harus diubah menjadi kemandirian ekonomi. Harga diri negara-negara muslim harus dibangun kembali dan pembangunan kekuatan serta kekuasaan harus diwujudkan secara bertahap. Ketahanan dan kemerdekaan dunia Islam serta kedamaian dan kesejahteraan ummat manusia merupakan tujuan utama yang harus mewarnai dalam perencanaan pembangunan. Karena itu perlu ada perubahan mendasar dalam isi dan pola perencanaan pembangunan kita.
PENUTUP

            Laju pertumbuhan dan perkembangan Ekonomi ditentukan oleh faktor ekonomi dan non-ekonomi. Faktor ekonomi meliputi, 1) Sumber Daya Alam, 2) Sumber Daya Manusia, 3) Sumber Daya Modal, 4) IPTEK, dan 5) Faktor Budaya. Sementara itu faktor nonekonomi meliputi, lembaga-lembaga sosial, keadaan politik dan institusional.
            Kemudian dalam perspektif Islam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi lebih ditekankan pada faktor sumber daya alam dan perilaku manusia. Dengan pembangunan sumber daya insani yang bermoral dan berpendidikan, dan pembagian harta kekayaan dari yang kaya ke yang miskin dengan mengeluarkan ZIS, maka pertumbuhan dan pembangunan ekonomi akan berjalan sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh agama, dan tercipta masyarakat yang adil dan sejahtera.


DAFTAR PUSTAKA

Sukwiaty, Sudirman Jamal, Slamet Sukamto, 2006. Ekonomi, Jakarta: Yudhistira Ghalia    Indonesia
Supadie, Didiek Ahmad. 2013. Sistem Lembaga Keuangan Ekonomi Syariah dalam          Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Semarang: Pustaka Rizki Putra